Apakah ikhlas saja cukup?

Cukupkah keikhlasan menjadikan kebaikan dan kebenaran?

بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله. فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار .

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم Wa Ba’du :

Allah سبحانه و تعالي berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Qs.Ali Imran : 85)

Banyak orang-orang yang masih bertahan di sekte-sekte sempalan seperti kelompok abu hamzah telah terbutakan dengan faham-faham syubhat yang diajarkan di kelompok itu.
Mereka adalah orang-orang awam yang tidak mengerti kaidah-kaidah beragama yang banyak Allah siratkan di dalam ayat-ayatNya dan di banyak hadits-hadits Nabi.  Mereka tidak pernah mengerti hal ini karena tidak pernah diajarkan oleh guru-guru mereka yang juga memang tidak pernah mengerti tentang hal ini.
Mereka telah rela dipimpin dan mengikut dalam beragama kepada orang-orang yang jauh dari ilmu yang benar, bukan ulama, bukan orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu tafsir yang haq, bukan orang-orang Ahlus-Sunnah yang mengerti ilmu-ilmu hadits dan periwayatan, bukan pula orang-orang yang mempunyai rasa takut yang tinggi kepada Allah karena tidak merasa berat untuk bicara tentang ayat-ayat Allah sembarangan, tidak merasa berat jika sampai mengajarkan hal yang salah kepada orang-orang di bawahnya. Ini menunjukkan jauhnya mereka dari ilmu.

Seorang sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud رضي الله عنه mengatakan :

“Cukuplah dengan ilmu itu akan membuat takut kepada Allah dan cukuplah dengan kebodohan itu dapat mendurhakai Allah.” (Al-Mawarid Adh-Dham’an lii Durus Az-Zaman)

Orang-orang awam ini terkecoh dengan perkataan-perkataan keikhlasan, yaitu : “berbuatlah karena Allah…” atau “niatkanlah karena Allah…” atau “mengabdilah hanya kepada Allah…”  sehingga kemudian mereka mengikuti saja apa yang diajarkan dan membutakan diri dari kebenaran pemahaman hujjah dan dalil-dalil yang disampaikan.

Seseorang dari mereka ada yang mengatakan : “biarlah…yang penting Allah ridho….”
Ia berfikir bahwa keridhoan Allah itu akan diraihnya kalau hati sudah meniatkan untukNya, bagaimanapun cara yang ditempuhnya, apakah cara yahudi, nasrani, majusi, cara akal-akalan, atau cara-cara syetan.
Yang penting niatnya untuk Allah.

Maka mereka bersama-sama dengan pemimpinnya melangkah mengikuti derap langkah jamaahnya yang telah dicanangkan oleh pemimpinnya yang bukan orang berilmu itu. Berletih-letih ria menjalani kehidupan sebagai orang-orang yang merasa mulia di muka bumi, berkubang kesulitan-kesulitan hidup untuk menggapai mimpi siang hari sebagai calon-calon penguasa bumi yang akan memimpin ummat manusia di dunia ini dengan daulah kekholifahan mereka, dengan ilmu-ilmu Islam yang telah difahami oleh mereka dari kitab-kitab yang telah diterjemahkan oleh orang-orang yang mereka anggap kafir. Biarlah…..yang penting Allah ridho……yang penting ridho….

Ikhlas dan benar

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir رحمه الله mengatakan tentang Qs.Ali Imron ayat 85 di atas : “yakni barangsiapa yang menempuh suatu jalan selain jalan yang telah disyariatkan oleh Allah, maka jalan itu tidak akan diterima darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 Qs.Ali Imron:85)

Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.” (HR Bukhori-Muslim)

Dan ia pun bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.” (HR Muslim no.1718)

Aktivitas seorang muslim yang dikatakan ibadah kepada Allah, haruslah sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah melalui ajaran RasulNya.  Itulah sebabnya para uskup dan pendeta yahudi atau nasrani tidak mendapatkan kebaikan di sisi Allah dengan amal-ibadahnya, meskipun dia ikhlas menyerahkan hidupnya untuk “Tuhan Yang Mengutus Al-Masih” (yaitu Allah).

Apakah mereka akan mengatakan : “tapi kalau kami ini memang mengikut syariat Allah, ikut pemahaman Al-Qur’an…”
Ya, itu memang pemahaman Al-Qur’an, yaitu pemahaman Al-Qur’an dari sang pemimpin sekte, bukan pemahaman yang haq dari Nabi, sahabat, dan para ulama salaf yang mengikuti pemahaman Nabi dan para sahabat (ikuti dengan seksama : koreksi pemahaman yang salah kelompok abu hamzah (1), (2), (3), dan Ajaran dan fatwa-fatwa bathil (1), (2)).
Juga bisa dipastikan demikian karena sang pemimpin sekte bukanlah orang yang berilmu sebagaimana ilmunya para ulama terdahulu atau yang terkemudian.  Orang yang berilmu adalah orang yang sangat takutnya kepada Allah dan adalah orang yang “faqih” di dalam ilmu-ilmu dien.   Sang pemimpin sekte jauh dari sifat-sifat ini.
Hanya orang-orang yang tertipulah yang menganggapnya orang berilmu, dan menganggap amalannya yang konyol-konyol adalah amalan yang hebat dan besar-besar.
Semoga Allah سبحانه و تعالي memberikan hidayah yang lurus kepada orang-orang yang konyol agar kembali bertaubat.

Allah سبحانه و تعالي berfirman :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (QS. Al Kahfi: 110)

Ibnu Katsir رحمه الله mengatakan di dalam tafsirnya : “Yakni dengan mengerjakan amal yang semata-mata hanya karena Allah, tiada sekutu bagiNya.  Demikianlah syarat utama dari amal yang diterimaNya, yaitu harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم .” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 16 Qs.Al-Kahfi:110)

Beribadah, mengabdi kepada Allah, memerlukan tuntunan syariat.  Tuntunan ini harus yang berasal dari Nabi صلي الله عليه وسلم karena beliaulah utusan Allah yang membawa risalah.
Dengan mengikuti ajaran Allah secara ikhlas, disertai tuntunan syariat yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم maka akan lurus jalan kaum muslimin, di masa manapun ia berada, tak terkecuali pada masa sekarang.   Tuntunan syariat yang telah dijelaskan oleh Nabi (pada masa sekarang) tersebar di banyak hadits shohih yang dibawa oleh para ulama salaf.
Dan tidaklah mungkin seseorang bisa mengerti kalau tidak pernah mendalami hadits-hadits.
Dan tidaklah mungkin mampu mendalami hadits-hadits kalau bukan seorang ulama yang memang Allah kehendaki kredibilitasnya di kalangan ummat, sedangkan pemimpin sekte mereka bukanlah ulama bahkan bukan pengikut para ulama sama sekali…
Sang pemimpin sekte adalah orang yang belajar Islam sendiri (otodidak) yang apabila ditanyakan tentang siapakah gurunya sekarang ini, dia berkata melalui orang-orang dekatnya : “Waktu Abu Bakar Ash-Shiddiq jadi kholifah, siapa gurunya, hayo…? Kan Rasul waktu itu sudah tidak ada (sudah wafat). Jadi, Abu Bakar saja sebagai orang yang paling faham Islam pada waktu itu tidak ada gurunya…”
Para pengikutnya yang senantiasa bingung sambil garuk-garuk kepala membenarkan : “Oo, iya…ya…”

Subhanallah…

Sebagai pelengkap nasehat, seorang ulama besar terdahulu Fudhoil bin Iyadh رحمه الله telah mengajarkan :

“Apabila amalan yang dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (showab), amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan dengan benar namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan benar. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah dan amalan dikatakan benar apabila dilakukan dengan benar (sesuai ajaran Nabi صلي الله عليه وسلم ).” (Jaami’ul ‘Ulum wal-Hikam)

Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud رضي الله عنه mengatakan :

“Sederhana di dalam Sunnah lebih baik dibandingkan bersungguh-sungguh di dalam bid’ah” (HR Al-Hakim).

Maksudnya : sedikit amalan yang di atas Sunnah (sesuai bimbingan Nabi) lebih baik dibandingkan banyak beramal dan bersungguh-sungguh, namun di atas kebid’ahan (ajaran yang dikarang-karang sendiri).

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُوْلِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ.

Al-Faqir, Hamba Allah

Tentang Al-Faqir

Al-Faqir, hamba Allah
Pos ini dipublikasikan di belajar islam, belajar tafsir, Islam, kelompok Islam, Uncategorized dan tag , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar