Koreksi pemahaman yang salah kelompok abu hamzah (2)

Koreksi pemahaman yang salah kelompok abu hamzah (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله. فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار .

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم Wa Ba’du :
Allah سبحانه و تعالي berfirman di dalam Al-Qur’anul Kariim :

ﻭﺍﻥﻫﺫﺍﺼﺭﺍﻁﻰﻤﺴﺘﻘﻴﻤﺎ ﻓﺎﺘﻌﻭﺍﺍﻠﺴﺒﻝ ﻓﺘﻓﺭﻕ ﺒﻜﻡﻋﻥﺴﺒﻴﻟﻪ ﺫﻟﻜﻡ ﻭﺼﻜﻡ ﺒﻪ ﻟﻌﻟﻜﻡ ﺘﺘﻗﻭﻥ

“Inilah jalanKu (agama-Ku) Yang Lurus.  Maka ikutilah ia, dan jangan mengikuti jalan-jalan yang lain, niscaya kalian akan terpisah jauh dari jalanNya. Demikian itu diperintahkan Allah kepadamu supaya kamu bertakwa”  (Qs.Al-An’am : 153)

Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata : “Ayat ini dan ayat ..ﺍﻥﺍﻗﻴﻤﻭﺍﺍﻠﺩﻴﻥ ﻭﻻﺘﺘﻓﺭﻗﻭﺍﻓﻴﻪ.. (Asy-Syuro:13) merupakan perintah Allah kepada kaum mukminin untuk bersatu dan jangan berselisih, berpecah-belah, dan menerangkan bahwa ummat-ummat terdahulu telah binasa karena perselisihan, pertentangan dalam dien/agama Allah.”   (Tafsir Ibnu Katsir QS.Al-An’am:153).

Para sahabat Nabi tidak berselisih dengan Nabinya, dan juga tidak berselisih satu sama lain di antara mereka dalam masalah yg pokok dan besar, yaitu masalah akidah.  Demikian juga para thobi’in yg terpilih, para ulama terdahulu yg sholeh, serta para pengikut sunnah yg baik di antara kaum muslimin.  Meskipun pada dasarnya sifat manusia suka berselisih, namun Allah سبحانه و تعالي  melarang berselisih dalam masalah yg mendasar, yaitu akidah, karena perselisihan dalam masalah inilah yg menyebabkan terjadinya perpecahan ummat.

Ikhtilaf dan Iftiroq

Para ulama memahami adanya dua istilah dalam permasalahan ini, yaitu ikhtilaf dan iftiroq, sebagaimana Allah سبحانه و تعالي telah menyebut dalam FirmanNya :

…ﻭﻻ ﺘﻜﻭﻨﻭﺍﻜﺎ ﻠﻴﻥ ﺘﻓﺭﻗﻭﺍﻭﺍﺨﺘﻠﻔﻭﺍ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yg berpecah dan berselisih…” (QS.Ali Imron : 105) di mana disebutkan tentang perpecahan dan perselisihan.
“Ikhtilaf” adalah perbedaan/perselisihan dalam masalah-masalah furu di dalam Islam, seperti perbedaan ulama dalam masalah qunut shubuh, perselisihan pendapat tentang ’istishan’, perselisihan tentang hukum ‘isbal’, dan lain-lain.
“Iftiroq” adalah perpecahan karena perbedaan masalah akidah, atau keyakinan yg mendasar seperti perbedaan pemahaman tentang ada-tidaknya kenabian lagi setelah Muhammad صلي الله عليه وسلم , perbedaan pemahaman iman dan kafir, perbedaan penting-tidaknya hadits dijadikan hujjah dalam berhukum, dan lain-lain.
Meskipun ikhtilaf dipahami bukanlah per-masalahan yg sangat fatal, tetapi (berdasarkan ayat di atas) sebaiknya pun tidak ada ikhtilaf, dan Allah سبحانه و تعالي  telah memberikan solusi mengembalikan kepada Allah dan RosulNya (dalam Qs.an-Nisaa:59).   Ikhtilaf yg terlampau tajam bisa saja menyebabkan terjadinya iftiroq.   Akan tetapi yg lebih disorot di sini adalah iftiroq (dari kata ﻓﺭﻕ ), sebab ini adalah perpecahan yg sesungguhnya.   Perhatikan Firman Allah سبحانه و تعالي :

ﻤﻥﺍﻠﺫﻴﻥ ﻔﺭﻗﻭﺍﺩﻴﻨﻬﻡ ﻭﻜﺎ ﻨﻭﺍ ﺸﻴﻌﺎ ﻜﻝﺤﺯﺏ ﺒﻤﺎﻟﺩﻴﻬﻡ ﻓﺭﺤﻭﻥ

“Yaitu orang-orang yg memecah-belah (dalam) dien mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.  Setiap golongan bangga dengan apa yg ada pada golongan mereka” (QS.ar-Ruum : 32)

Dalam ayat Allah tsb. ada kata ﻓﺭﻗﻭﺍ (dari kata ﻓﺭﻕ ) yg menyebabkan jadi bergolong-golongan/berfirqoh-firqoh.   Iftiroq dalam Al-Qur’an selalu berkonotasi negatif.
Ibnu Katsir رحمه الله menafsirkan lafaz ﻭﻜﺎ ﻨﻭﺍ ﺸﻴﻌﺎ dalam ayat lain yg senada dengan ayat di atas, yaitu QS.Al-An’am:159 : “Dan mereka merupakan golongan/kelompok tersendiri, bahkan memusuhi golongan yg lain, mereka kaum khawarij, ahli-ahli bid’ah, ahli syubhat, dan orang-orang yg tersesat” (Tafsir Ibnu Katsir QS.al-An’am:159).

Iftiroq karena faham takfir

Iftiroq terjadi karena adanya faham yg ‘menyempal’ yg didefinisikan sendiri (secara sadar atau tidak sadar oleh pelakunya), menyelisihi faham Rosulullah صلي الله عليه وسلم dan faham jumhur sahabat-sahabatnya, sebagaimana telah menyempalnya kaum khawarij dengan membuat bid’ah faham “takfir” (mengkafirkan orang Islam yg lain) secara tidak benar. Telah dijelaskan pada koreksi pemahaman yg salah sebelumnya, akidah khawarij dengan faham takfirnya telah menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslimin dan memicu perpecahan-perpecahan selanjutnya.  Akidah khawarij yg dianut oleh orang-orang sekarangpun berdampak kerusakan yg serius di tubuh kaum muslimin, antara lain saling mencurigai, saling mencaci, bahkan permusuhan yg semakin hebat hingga saling menghalalkan harta dan darah.   Terhadap orang-orang yg menyempal, Rosulullah صلي الله عليه وسلم memperingatkan :

لا يجمع الله هذه الأمة على الضلالة أبدا وقال: يد الله على الجماعة فاتبعوا السواد الأعظم، فإنه من شذ شذ في النار

“Tidaklah Allah kumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya.” Dan beliau juga bersabda: “Tangan Allah atas jamaah, maka ikutilah As-Sawadul A’zham, maka barangsiapa yang menyempal, maka dia menyempal ke neraka.” (HR.Al-Hakim dalam Al Mustadrak, ‘alash Shahihain, 1/378/358)

Faham ‘takfir-munafik’

Tidaklah dipungkiri bahwa kaum kafir seperti yahudi, nashrani, musyrikin atau bahkan kaum munafik yg semuanya disebut di dalam Al-Qur’an memang akan selalu ada hingga akhir jaman, termasuk pada jaman ini.   Namun dalam masalah yg sangat sensitif, yaitu pemahaman jatuhnya seseorang muslim pada kriteria kafir atau munafik berdasarkan Al-Qur’an, memerlukan penelaahan yg lebih kritis, tidak dengan terlalu mudah begitu saja menghukumi seseorang adalah kafir atau munafik hanya dengan melihat zhohir-zhohirnya ayat dipadu dengan sangkaan atau ‘feeling’.   Di antara orang-orang yg menganut faham takfir, ada yg dengan mudah mengusung-usung ayat-ayat Allah tentang kriteria orang munafik untuk menuding orang Islam yg lain sebagai orang munafik.   Sama saja sebetulnya, jika menuding seseorang munafik, berarti diapun menuduh orang tersebut kafir, karena orang munafik pada hakekatnya adalah orang kafir juga.   Mereka mengatakan bahwa orang-orang di luar kalangan mereka selain orang-orang kafir (yaitu Yahudi, Nasrani, musyrikin) adalah orang-orang munafik, karena mengaku Islam.   Mereka membacakan ayat-ayat Allah tentang orang-orang munafik, misalnya QS.Al-Baqoroh:8-20, An-Nisaa:137-143, At-Taubah:107, Al-Munaafiqun, dan lain-lain.   Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tanpa melihat keterangan-keterangan dari As-Sunnah dengan teliti dan hanya menyandarkan kepada zhohirnya ayat serta menggunakan pikiran dan ‘feeling’ mereka terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut.

Jika zhohirnya ayat menjadi sandaran dalam memahami kebenaran, berapa banyak kesalahan yg akan dibuat karenanya.   Sebagai contoh, perhatikanlah yg berikut :

وكلو١و١شربو١‏حتي‏يتبين‏لكم‏١لخيط‏١ل١بيض٠٠٠…

“…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam…” (Qs.Al-Baqoroh : 187)

Seseorang di masa Rosul telah salah memahami ayat ini karena melihat lafaz zhohirnya, yaitu dengan mengikatkan pada kakinya benang putih dan benang hitam dan tetap makan (belum mulai puasa) hingga keduanya terlihat jelas (lihat tentang asbabun-nuzul dan tafsir ayat ini).

يأيهاالذين‏ءامنواإنماالمشركون‏نجس‏٠٠٠

“Hai orang-orang yg beriman, sesungguhnya orang-orang yg musyrik itu najis…” (Qs.At-Taubah : 28)

Jika difahami sebagaimana zhohirnya ayat, setiap orang musyrik/kafir adalah najis, di mana jika ia menyentuh benda maka benda tersebut haruslah dicuci karena terkena najis. Pemahaman seperti ini ada di sebagian kalangan ahlul-bid’ah lokal yg juga menganut faham takfir (yaitu kelompok “Islam jama’ah”).

بيدك‏الخيرإنك‏على‏كل‏شىء‏قدير…

“…Di tangan Engkaulah segala kebaikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Qs.Ali Imron : 26)

Jika difahami sebagaimana zhohirnya ayat, orang bisa mengartikan bahwa Allah punya tangan ‘sebagaimana’ tangan manusia dan jadi meyakini berjasad kasar.  Yg seperti ini adalah pemahaman salah-satu kelompok ahlul-bid’ah di masa yg lalu (kaum musyabbihah), Maha Suci Allah dari apa yg mereka sifatkan terhadapNya.

Cara penafsiran dengan hanya melihat zhohirnya ayat sudah tentu akan banyak kesalahan. Akan tetapi ada hal yg aneh pada satu kelompok penganut faham takfir, di mana pada ayat-ayat selain masalah pengkafiran mereka melihat kepada tafsir-tafsir dari ulama tafsir.   Namun khusus masalah pengkafiran mereka hanya memandang ayat-ayat Al-Qur’an secara zhohir ayat dengan akalnya.  Hal yg seperti ini sudah menjadi pola ahlul-bid’ah berfaham takfir dari dahulu dan telah difahami oleh ulama.   Seorang ulama terdahulu, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthain رحمه الله berkata :

“Di antara hal yang mengherankan bahwa salah seorang dari mereka jika ditanya tentang suatu permasalahan tentang thoharoh atau jual beli atau yang semacamnya maka mereka tidaklah berfatwa dengan sekedar pemahaman dan akalnya, bahkan dia mencari dan menelaah perkataan para ulama dan berfatwa dengan apa yang dikatakan oleh para ulama, lalu bagaimana di dalam perkara besar ini yang merupakan perkara agama yang paling besar dan paling berbahaya dia bersandar kepada sekedar pemahaman dan akalnya?”

Hal aneh yg lain dari satu kelompok di antara mereka adalah sering membawa-bawa petikan ayat-ayat berikut ini dalam mengkafir-munafik-kan orang :

وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا

“…Dan mereka mengatakan “kami beriman kepada yg sebagian dan kami kafir terhadap sebagian”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yg demikian” (Qs.An-Nisaa : 150).

أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

“Merekalah orang-orang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yg kafir itu siksaan yg menghinakan” (Qs.An-Nisaa : 151)

Dengan ayat-ayat itu mereka mengatakan bahwa ‘orang-luar’ adalah munafik karena hanya beriman terhadap sebagian ayat-ayat Al-Qur’an, sebagian lainnya diingkari.  Mereka mengatakan dengan ayat-ayat itu bahwa ‘orang-luar’ itu adalah kafir yg sebenar-benarnya.  Hal ini sangat aneh, karena ayat-ayat tersebut sama-sekali tidak ditujukan untuk orang-orang munafik, tetapi untuk ahlul-kitab, terutama Yahudi (lihat tafsir Ibnu Katsir QS.An-Nisaa 150-151 & tafsir Jalalain),
dan makna “iman sebagian-kufur sebagian” bukanlah dalam masalah mengimani ayat, tetapi dalam masalah mengimani Rasul-Rasul Allah, karena ayat-ayat itu masih bersambung pemahamannya dengan ayat berikutnya :

وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ ٠٠٠

“Orang-orang yg beriman kepada Allah dan para RasulNya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka (yaitu hanya diimani sebagian)… (Qs.An-Nisaa : 152)

Jika ayat-ayat ini ditarik-tarik untuk diambil pelajarannya untuk orang munafik, biar bagaimana pun tidak bisa, sebab penyimpangannya akan dari semua sisi, yaitu sisi lughoh/bahasa dan sisi tafsiriyah.

Dan ayat-ayat yg lain yg mereka bawa-bawa untuk mencela amalan ‘orang-luar’ yg dikatakan munafik :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah : Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yg paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yg telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (Qs.Al-Kahfi : 103-104)

Sangat aneh mereka menuding orang dengan ayat itu, sebab ayat itu dikemukakan oleh Ibnu Katsir adalah tentang orang-orang khawarij (lihat Al-Bidayah wan-Nihayah oleh Ibnu Katsir).   Sebagaimana diketahui, bahwa orang-orang khawarij adalah ‘orang-orang yg mengkafirkan orang Islam yg lain dengan tanpa haq’, yg ditentang pemahamannya oleh para sahabat dan para ulama Ahlus-Sunnah.   Bukankah ayat-ayat itu lebih pantas untuk mereka sendiri?


Pelurusan faham ‘takfir-munafik’

“Munafik” berasal dari kata “nifaq” (نَافِقَاءُ), orang yg nifak disebut munafik.
Nifaq (نَافِقَاءُ) arti asalnya adalah salah satu liang binatang ‘yarbu’, yaitu semacam tikus yang memiliki lebih dari satu liang, sehingga tatkala dia dikejar melalui satu liang akan lari menuju liang yang lain (Min Ma’aanil Qur’aan, Abdurrahman Faudah).

Nifaq didefinisikan sebagai “Menampakkan iman dengan lisan dan menyembunyikan kufur di hati”  (at-Ta’riifah, Al-Jurjani).
Secara syariat ia berarti “menampakkan keIslaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran/keburukan (di hati)”.   Yang demikian itu karena ia berada di dalam syariat Islam dari satu sisi, dan keluar dari Islam dari sisi yang lain.

ان‏المنفقين‏هم‏الفسقون…

“…Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yg fasik” (Qs.At-Taubah : 67)
Fasik di sini berarti keluar dari jalan yg benar (Islam) dan masuk ke dalam jalan kesesatan (kekafiran).  (Tafsir Ibnu Katsir, QS.at-Taubah:67).

Pemahaman ulama tentang nifaq

Al-Buraikan رحمه الله menyebutkan dua kriteria nifaq, yaitu nifaq akbar (besar) dan nifaq ashghor (kecil).  (Al-Madkhal li Dirasah al-Aqidah al-Islamiyyah).

Abdurrahman Faudah رحمه الله menyebutkan nifaq iman dan nifaq ‘amali.  (Min Ma’aanil Qur’aan).

Ibnu Taimiyah رحمه الله menyebutkan nifaq i’tiqodi dan nifaq ‘amali.

Al-Buraikan dan Ibnu Taimiyah menyebutkan nifaq akbar(besar) dan nifaq i’tiqodi, maksudnya adalah nifaq yg membatalkan amal, karena adalah nifaq yg sebenarnya, nifaq akidah.
Sebagaimana tabiat Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik di jaman Rasulullah صلي الله عليه وسلم, atau orang-orang sejenisnya, karakter ini banyak tersirat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Seorang yg nifaq akbar/i’tiqodi pada dasarnya adalah orang yg tidak mempercayai dan mendustakan kerasulan Muhammad صلي الله عليه وسلم  (lihat Qs.Al-Munaafiquun:1), dan ia akan kekal di neraka yg paling bawah (lihat Qs.An-Nisaa:145).
Orang yg nifaq akbar/i’tiqodi sebenarnya adalah orang kafir asli, hanya saja berselimut Islam.   Inilah munafik yg sesungguhnya.
Berikut adalah uraian enam macam nifaq akbar/i’tiqodi yg disimpulkan ulama berdasarkan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an :
• Tidak mempercayai/mendustakan Rasulullah صلي الله عليه وسلم
• Tidak mempercayai sebagian (ajaran) yg dibawa Rasulullah صلي الله عليه وسلم
• Membenci Rasulullah صلي الله عليه وسلم
• Membenci sebagian (ajaran/risalah) yg dibawa Rasulullah صلي الله عليه وسلم
• Merasa senang ketika agama Rasulullah صلي الله عليه وسلم direndahkan
• Membenci kemenangan agama Rasulullah صلي الله عليه وسلم

Predikat munafik dalam arti kafir dari Islam adalah hanya apabila seseorang itu nifaq akbar/i’tiqodi.   Jika ada seseorang menuding yg lain dengan tudingan kafir-munafik, maka haruslah benar bahwa yg dituding itu telah mendustakan kerasulan Muhammad صلي الله عليه وسلم. atau haruslah benar bahwa yg dituding itu tidak memuliakan atau bahkan membenci Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, atau haruslah benar bahwa yg dituding itu sebenarnya adalah orang yg menginginkan Islam tidak pernah ada di muka bumi (meskipun ia telah bersyahadat) dst.   Jika tidak demikian, maka tudingannya itu adalah dusta yg bisa menyebabkan ‘kekafiran’ bagi orang yg menuding itu sendiri.

Nifaq ashghor atau nifaq amali mempunyai pengertian nifaq yg tidak mengeluarkan dari Islam karena masih adanya unsur keimanan di dalam hatinya, hanya saja kemunafikannya membuatnya berdosa dan mendorongnya ke api neraka.   Nifaq ini adalah nifaq dalam amalan.  Rasulullah صلي الله عليه وسلم menyebutkan empat karakter kemunafikan dalam sabdanya :

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خِصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Empat hal yang barang siapa keempatnya ada pada dirinya maka dia seorang munafik yang murni dan barang siapa yang terdapat pada dirinya salah-satunya berarti ada pada dirinya sebuah kemunafikan : jika dipercaya berkhianat, jika berbicara berdusta, jika berjanji ingkar, dan jika bertikai ia berbuat curang.”  (HR.Bukhori no.34 dan Muslim no.207)
Al-Qurthubi رحمه الله berpendapat bahwa nifaq dalam hadits ini adalah nifaq amali.

Selama seseorang tidak memiliki kriteria dari enam macam nifaq yg disebutkan di atas, meskipun ia beramal dengan salah-satu yg disebutkan di dalam hadits tersebut, ia bukanlah seorang munafik.  Para ulama sangat kritis dalam menyimpulkan kemunafikan, perhatikanlah petikan uraian dalam kitab Fathul-Baari (kitab tafsir hadits-hadits Bukhori) yg berikut :

“Pada bab sebelumnya Imam Al-Bukhori telah menjelaskan, bahwa kekufuran dan kezhaliman mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Maka dalam bab selanjutnya ia menjelaskan, bahwa kemunafikan juga mempunyai tingkat yang berbeda-beda, sebagaimana kekufuran dan kezhaliman.
Syaikh Muhyiddin mengatakan, “Maksud Imam Bukhori adalah untuk menjelaskan bahwa kemaksiatan akan mengurangi keimanan, sebagaimana kataatan dapat menambah iman seseorang.”
Al-Karmani menambahkan, “Hubungan pembahasan ini dengan bab “Iman” adalah untuk menjelaskan, bahwa kemunafikan adalah tanda tidak adanya iman, atau untuk mengetahui bahwa sebagian kemunafikan adalah kufur.
Nifaq (kemunafikan) menurut bahasa adalah, tidak adanya kesamaan atau kesesuaian antara lahir dan batin.  Apabila hal ini terjadi dalam masalah akidah dan keimanan, maka disebut sebagai Nifaqul Kufri (nifak kafir).  Tapi jika terjadi dalam selain iman, maka dinamakan Nifaqul ‘Amal (nifaq dalam amalan), dan dalam hal ini kemunafikan tersebut mempunyai tingkatan yang berbeda”   (Fathul-Baari/1/bab iman/24/hdst.no.33-34, Ibnu Hajar Al-Atsqollani, tahqiq Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz)

Tentang hadits (Muslim) di atas, Imam Nawawi رحمه الله berkata :
“Hadits ini dianggap oleh sebagian ulama sebagai hadits yang bermasalah, karena sifat-sifat ini telah ditemukan dalam diri seorang muslim dan dia tidak dihukumi kafir.”
“Makna hadits tersebut adalah benar dan tidak ada masalah di dalamnya. Sedangkan apa yang dikatakan oleh para pentahqiq, bahwa orang yang memiliki karakter munafik disamakan dengan orang munafik, maka saya katakan bahwa pernyataan ini adalah dalam bentuk majaz (tidak yg sebenarnya).  Artinya, orang yang memiliki karakter tersebut (hanyalah)“seperti” orang munafik, karena yang dimaksud dengan munafik ini adalah Nifaqul Kufri (Nifaq kafir)”.  (Syarah Muslim lin-Nawawi)

Mengomentari sifat orang munafik bahwa jika berjanji ia ingkar, Al-Ghozali رحمه الله mengatakan : “Dalam hal ini, mengingkari janji termasuk perbuatan dosa jika mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan jika seseorang telah berazam untuk menepatinya tetapi ada suatu halangan, maka ia tidaklah dianggap sebagai orang munafik”  (Ihya Ulumuddiin)

Syaikh Shalih bin Fauzan berkata : “Nifaq ada dua macam ; pertama an-nifaq i’tiqadi (kemunafikan yang berhubungan dengan keyakinan/akidah), ini adalah kemunafikan yang besar, karena pelakunya menampakkan Islam, sedangkan hatinya benci dan mengingkarinya.   Orang ini telah keluar dari Islam secara keseluruhan.   Tempat tinggalnya di neraka yang paling bawah.   Kedua an-nifaqul ‘amali (kemunafikan yang berhubungan dengan amal), yaitu mengamalkan sebagian dari sifat munafik, akan tetapi hatinya tetap beriman, mereka ini tidak dinamakan keluar dari Islam, akan tetapi amalan mereka ini merupakan jalan menuju kekufuran.   Pada orang ini ada unsur keimanan dan kemunafikan.  Ketika sifat nifaqnya lebih besar maka akan menjadi munafik murni.” (Aqidatut-Tauhid 1/88).

Perlu diketahui bahwa pelurusan faham takfir-munafik adalah untuk mendudukkan permasalahan dengan benar karena masalah ini adalah masalah yg sangat sensitif dan berbahaya jika terjadi kesalahan, sebagaimana juga faham takfir.  Ini tidak dimaksudkan untuk menganggap enteng kemunafikan.

Ibnu Abi Mulaikah رحمه الله (seorang Thobi’in) berkata :
“Aku bertemu dengan 30 sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم, mereka semua takut kalau-kalau ada nifaq di dalam dirinya”  (Fathul-Baari I/109-110)

Aku berlindung kepada Allah dari sifat nifaq, besar ataupun kecil, dengan pengetahuan yg telah diberikanNya.  Semoga Allah mengampuni yg tersalah yg ada padaku, yg tidak teringinkan dan karena kealpaan serta keterbatasan ilmu,  إن‏الله ‏هوالغفورالرحيم

Demikianlah, maka jika kembali ke pokok permasalahan, pemahaman tentang takfir (pengkafiran) yg diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an, memerlukan rujukan keterangan-keterangan dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم, sahabat dan ulasan para ulama.   Ingatlah bahwa Rasul adalah orang yg paling mengerti tentang ajaran Al-Qur’an, para sahabatnya adalah orang-orang yg paling banyak tahu tentang ajaran Rasul, dan para ulama yg baik (di kalangan sahabat, thobi’in, ataupun setelahnya) mereka adalah pewaris ajaran Nabi صلي الله عليه وسلم.   Para ulama sunnah adalah para “muhaditsin” (para pembawa atau pakar hadits). Sebagian dari mereka menjadi “mufassirin” (penafsir ayat-ayat Al-Qur’an) karena banyak mengerti ilmu-ilmu hadits, sehingga penafsirannya tidak melenceng dari As-Sunnah. Perhatikan sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم yg menggambarkan pentingnya hadits dan kemuliaan para pembawa atau pakar hadits :

نضّر الله امرأ سمع منّا حد يثا فحفظه حتّى يؤدّ يه فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه وربّ حامل فقه ليس بفقيه

“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yg mendengar hadits dari kami lalu menghafalnya hingga menyampaikannya pada orang yg lebih faham daripadanya, dan berapa banyak orang yg membawa ilmu namun ia tidak mengerti”  (HR.Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, ia berkata “hadits ini hasan”).

Jika ada seseorang mengatakan tentang penafsiran dari para ulama : “itu hanyalah penafsiran dari orang/manusia” maka sesungguhnya dia sedang mengajak kepada penafsiran manusia juga, namun manusia yg lain, yaitu : dirinya …

atau

“Yang menjadi petunjuk adalah Al-Qur’an, bukan hadits”, maka sesungguhnya dia sedang mengatakan : “pahamilah Al-Qur’an menurut saya, tidak perlu melihat hadits-hadits dari ulama dalam memahaminya”…

Orang yg mengajak bersangka buruk terhadap para ulama, sesungguhnya ia sedang mengajak bersangka baik terhadap yg bukan ulama, yaitu : dirinya…

Orang yg mengatakan bahwa tidak terlalu perlu menelaah ulasan dari para ulama, sesungguhnya dia sedang mengatakan “ambillah hasil ulasan dari saya saja atau dari pemimpin saya, jangan dari ulama”…
Apakah benar ia lebih pandai dari para ulama terdahulu?

Dan orang yg mengatakan dalam mengambil hadits : “langsung saja ke haditsnya, tidak usah rumit melihat sanad, matan, tinjauan bahasanya, syaroh yg menyertainya…” sesungguhnya tidak perlu lagi diperdebatkan tentang ke-awaman dan kebodohannya…

Jika ada seorang yg dianggap alim mengatakan : “Sembelihan itu haram…”  (yaitu sembelihan orang-orang Islam di luar kelompoknya) lalu diikuti oleh seseorang, padahal tidaklah Allah, RasulNya, para sahabatnya, para ulama terdahulu dan yg terkemudian memahami seperti pengharamannya itu, maka sesungguhnya ia sedang mempertuhan orang alimnya.

Jika ada seorang yg dianggap alim mengatakan : “Menikah dengan cara seperti itu halal…” (yaitu mengangkat wali seenaknya, bukan dari bapak atau kerabat si perempuan) lalu diikuti oleh seseorang, padahal tidaklah Allah, RasulNya, para sahabatnya, para ulama terdahulu dan terkemudian memahami seperti penghalalannya itu, maka sesungguhnya ia sedang mempertuhankan orang alimnya.  Perhatikanlah keterangan hadits berikut :
Allah سبحانه و تعالي berfirman :

اتخذواأحبارهم ‏ورهبنهم ‏‏‏أربابا من‏دون‏الله‏‏ والمسيح ‏ابن‏مريم٠٠٠

“Mereka menjadikan orang–orang alimnya dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al-Masih putera Maryam…” (Qs.At Taubah : 31)

Ketika sahabat Adi bin Hatim mendengar ayat ini (dahulunya ia adalah penganut nasrani) dia berkata kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم : “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak menyembah mereka”

Lalu Rasulullah صلي الله عليه وسلم berkata :

اليس ‏يحلون ‏لكم ‏ماحرم‏الله‏ فتحلونه‏ ويحرمون‏ مااحل‏الله‏ فتحرمونه

“Bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengikutinya?”

Menjawab Adi bin Hatim : “Benar”

Kemudian Rasulullah صلي الله عليه وسلم berkata :

فتلك‏عبا دة كم

“Itulah bentuk ibadah kalian”  (HR.At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi)

Seseorang yg dianggap alim (berilmu), harus benarlah bahwa ia memang benar alim, dan seseorang yg mengikut orang alim, harus benarlah bahwa ia mengikutinya atas ilmu yg lurus, Kitabullah dan As-Sunnah.   Jika tidak demikian, maka yg terjadi adalah kerusakan di muka bumi, yaitu kerusakan di dalam ajaran diin dan kerusakan akidah manusia.

Apabila fatwa dan perkataan ulama sudah disepelekan, dan apabila penisbatan ilmu-ilmu dalam Islam tidak lagi merujuk kepada para ulama, maka sama halnya dengan menganggap ulama itu sudah punah.   Yg akan terjadi adalah seperti yg digambarkan Rasulullah صلي الله عليه وسلم :

إن‏الله‏لا‏يقبض‏العلم‏إنتزاعاينتزعه‏من‏الناس‏،ولكن‏يقبض‏العلم‏بقبض‏العلماءحتى‏إذالم‏يترك‏عالمااتخذالناس‏رءوساجهالا‏فسئلوافأفتوابغيرعلم‏فضلواوأضلوا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu langsung dari orang-orang, tetapi Allah akan mencabut ilmu dengan meninggal/punahnya para ulama, sehingga apabila telah habis orang-orang berilmu, orang-orang akan mengangkat yg bodoh sebagai ketua/pemimpin mereka. Kemudian apabila mereka ditanya tentang sesuatu, akan memberikan fatwa yg tidak berdasarkan ilmu. Mereka itu sesat, dan menyesatkan”  (HR.Bukhori /1/33, Muslim /4/2058. Ini lafaz Muslim)

ومن‏دعاإلى‏ضلا‏ لة‏ كان‏عليه ‏من‏الا ‏ثم‏ مثل‏آثام‏ من ‏تبعه‏لا ‏ينقص‏ذلك‏ من‏آثا مهم‏ شيئا

“Dan siapa yg mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa seperti dosa orang yg mengikutinya dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”  (HR.Muslim /4/2060)

Faham “takfir-munafik” (mengkafirkan orang Islam yg lain sebagai ‘munafik’ yg kafir dengan tanpa haq) adalah faham bid’ah (sesuatu yg baru dalam Islam yg diada-adakan). Rasulullah صلي الله عليه وسلم mengingatkan bahayanya menjadi seorang ahlul-bid’ah, yaitu susah bertobat.  Perhatikan hadits berikut :

إِنَّ اللهَ احْتَجَرَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ

“Sesungguhnya Allah menghalangi setiap ahli bid’ah dari taubat, sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (lihat Silsilah Ash-Shohiihah VI/154, Nashiruddin Al-Albani, hdts no.1620, dengan lafaz :
إِنَّ اللهَ احْتَجَرَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ )

Sehingga sebagaimana keterangan seperti di atas, seorang ulama salaf Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri رحمه الله mengatakan :

“Sesungguhnya bid’ah lebih disukai oleh iblis daripada maksiat, karena orang akan mudah bertaubat dari maksiat.  Sedangkan bid’ah, orang tidak akan bertaubat daripadanya”

Perkataan ini bermakna demikian : Seorang ahli maksiat seperti tukang main judi atau tukang minum khamer, biasanya masih mengakui bahwa perbuatannya itu salah, sehingga masih besar kemungkinan bisa bertobat.  Sedangkan seorang ahli bid’ah tidak memandang perbuatan bid’ahnya itu salah, justeru dalam keadaan salah dia memandang bahwa dia sedang berada di atas kebenaran dan petunjuk.  Susah bertobat
Allahu a’lam.


Untuk orang-orang yg masih terlibat dalam faham syubhat :

“Kembalilah kepada faham yg lurus, ajaran Al-Qur’an yg dibawa Rosulullah صلي الله عليه وسلم sebagaimana difahami para sahabatnya, para thobi’in terpilih dan difahami para ulama terdahulu yg baik”.

“Jangan jadikan diri sendiri terus menerus dalam keadaan awam akibat kesombongan dan akibat merasa cukup dengan lingkungan yg ada.  Sadarilah di mana kita sedang berada, di antara para sahabat nabi ataukah diantara orang-orang yg berseberangan dengan mereka?   Di antara para Imam dan alim-ulama ataukah di antara orang-orang yg menentang mereka?  Di antara orang-orang yg membangun ummat ataukah di antara orang-orang yg memecah ummat?  Di antara orang-orang yg memelihara Al-Qur’an ataukah di antara orang-orang yg ‘menyembarangkan’ Al-Qur’an?”

“Lepaskan syubhat dan ambil jalan yg terang. Selamatkan diri dan keluarga dari jerat pemahaman yg sepertinya sangat bagus namun sebenarnya penuh dengan cacat, kebodohan, dan mengusung permusuhan. Nabi telah diutus dan petunjuk ada di setiap jaman. Jangan pernah berhenti untuk memohon diberiNya jalan yg lurus”

“Jangan terkecoh dengan sangkaan dan perasaan, Berpertolonganlah kepada Allah dengan sabar dan sholat, sujudlah kepadaNya meski terasa berat, mudah-mudahan Allah jadikan kita orang-orang yg khusyu…”

Hanya kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan dan petunjuk, semoga dilimpahkan taufiqNya kepada kita dan kepada seluruh ummat Islam untuk memahami dien Allah dengan benar dan tetap teguh padanya.

للَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ
مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَْيتَنا ، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمة ، إِنّكَ أنتَ الوَّهابُ
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
َاللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ وَالأَبْصَارِ ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.

Al-Faqir, Hamba Allah

Tentang Al-Faqir

Al-Faqir, hamba Allah
Pos ini dipublikasikan di belajar islam, belajar tafsir, Islam, kelompok Islam, Uncategorized dan tag , , , , , . Tandai permalink.

2 Balasan ke Koreksi pemahaman yang salah kelompok abu hamzah (2)

  1. Tholabul ilmi berkata:

    pemahaman takfir yg prematur..tanpa bimbingan dr ulama yg bermanhaj salafus-sholeh,kaidah takfir(pengkafiran) yg benar, iqomatul hujjah dan intima’ul mawani(hilangnya penghalang) akan mengakibatkan kerusakan yg besar,tertumpahnya darah yg tdk halal,terampasnya harta dgn kedholiman,hilangnya marwah,rusaknya silaturahmi..dst.utk yg msh terkena syubhat:kemana pemahaman ayat2 Allah yg sering dibaca?afalaa tattaquun,afalaa ta’qiluun..?! Wallahul musta’an..wa hadaakumullah..

  2. Temannya Manager berkata:

    kebanyakan orang-orang yg memiliki paham syubhat takfir atau ada pada pemikirannya syubhat khawarij,tdk menyadari kekeliruannya dlm vonis takfir muayyan(vonis kafir pd person tertentu),dan hanya bersandar pd ayat2 mujmal(global)tanpa memerinci dan mencari tahu thdp ma’na mufassar(yg menjelaskannya),dan pegangan thdp pendapat tsb begitu kuat,smp berani mengkafirkan siapa saja yg menyalahi pendapatnya dgn alasan ayat Allah tdk bisa ditentang,siapa yg menentang maka KAFIR.Pdhal maksud ayat tsb tdk seperti yg mrk maui..
    Kalau mrk mau sdkit menghilangkan rasa SOMBONG dan usaha dgn meRUJUK kpd kitab2 tafsir yg terpercaya(Ibnu katsir,ath-Thobari,as-Sa’di,dll.)akan didpt jwbnnya.Berikut kisah pengalaman seorang saudara kami,ketika menghadapi seorang berpaham takfiry
    http://ustadzaris.com/khawarij-baru

Tinggalkan Balasan ke Temannya Manager Batalkan balasan